ACEH SINGKIL, Zonamerdeka.com -- Soal di lihkannya 4 (empat) pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 sampai saat ini masih menoleh polemik.
Pasalnya Keputusan tersebut dari berbagai aspek jelas-jelas tidak wajar dan terkesan begitu dipaksakan.
Perlu kita pahami bahwa persoalan 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil Propinsi Aceh, selain berkaitan dengan wilayah, hal ini juga menyangkut marwah dan harga diri Rakyat Aceh.
"Besar kemungkinan juga berkaitan dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang kini masih tersembunyi yang ada disana, baik itu terkait potensi bahari, potensi wisata, hingga besar kemungkinan dengan potensi migas dengan nilai bisnis investasi yang sangat fantastis," Ungkap, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Aliansi Mahasiswa & Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) di Provinsi Aceh, Mahmud Padang, Hari selasa 3 Juni 2025.
Menurut Mahmud, dari berbagai aspek yang kita telah lihat, bahwa jelas-jelas, baik Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, serta Pulau Lipan adalah merupakan wilayah Aceh.
"Sehingga sungguh masih menjadi misteri dan menimbulkan tanda tanya, apakah yang sebenarnya terjadi dibalik pengalihan pulau - pulau tersebut.
Bahkan kita sudah turun ke 4 Pulau tersebut, disana jelas terdapat tugu yang menyatakan bahwa kepemilikan 4 pulau merupakan milik Kabupaten Aceh Singkil, Propinsi Aceh.
Kemudian pengelolaan pulau itu, selama ini juga dikelola orang Aceh dan bahkan surat - surat kepemilikan berupa Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965.
"Khabarnya dalam peta militer TNI sekalipun, bahwa jelas keempat pulau itu dimasukkan dalam wilayah Aceh," jelasnya.
Masih kata Mahmud, semakin menguatkan adanya indikasi pemaksaan perubahan peta wilayah yang dilakukan melalui Keputusan Mendagri dengan tujuan tertentu, bisa saja tidak menutup kemungkinan hal ini berkaitan dengan investasi Sumber Daya Alam (SDA).
Secara aspek bisnis dan investasi dengan skala besar, seperti untuk kawasan -kawasan potensial SDA termasuk Migas, maka karna itu pengaturan regulasi kerap jadi kalkulasi.
"Baik dari kemudahan perizinan, kepastian bisnis hingga pembayaran hasil usaha untuk negara, Jika wilayah bisnis di Daerah yang memiliki ke khususan seperti Aceh, maka selain harus mengakomodir produk regulasi nasional dan menjalankan aturan regulasi lokal yang termaktub didalam UUPA dan Qanun turunannya," bebernya.
Dia meyakini, adanya maksud tersembunyi dari Keputusan Mendagri tersebut, sehingga Keputusan itu terkesan dipaksakan harus di keluarkan.
Padahal dari berbagai fakta-fakta dilapangan, bahwa jelas-jelas keempat pulau tersebut merupakan wilayah Aceh dan jika dilakukan pengalihan kita kuatir akan menimbulkan ganguan stabilitas keamanan.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi kita semua, apa sebenarnya maksud terselubung dibalik pengalihan 4 pulau milik Aceh ini.
"Apakah berkaitan dengan sumber daya alam atau murni berdasarkan kajian kewilayahan, atau mengingat dari unsur berbagai aspek, membuktikan pulau-pulau tersebut sejak dulu memang milik Aceh.
Namun mengapa Mendagri secara sepihak justru mengeluarkan pulau -pulau tersebut dari wilayah Aceh." tambahnya.
Alamp Aksi Menegaskan, hal ini juga tidak menutup kemungkinan adanya Korupsi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) didalam mengeluarkan keputusan tersebut.
"Untuk itu kami Alam Aksi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah untuk menelusuri dan mengusut kemungkinan adanya indikasi dugaan korupsi dalam Keputusan Mendagri tersebut.
Mengingat adanya pemaksaan Keputusan yang bertentangan dengan fakta dilapangan, kita juga meminta KPK dapat menelusuri dan mengusut, apakah ada kemungkinan adanya transaksional, yakni seperti kolusi/gratifikasi disaat penentuan keputusan Mendagri.
"Kita sebagai Rakyat Aceh - Indonesia sangat patut menduga Keputusan Mendagri, adanya indikasi dugaan korupsi Sumber Daya Alam (SDA)." Pungkasnya. (Sakdam Husen)