ZONAMERDEKA.COM – Bulan Suro atau bulan Muharram dalam kalender Hijriah dikenal sebagai bulan yang sakral dan penuh makna bagi masyarakat Jawa. Dalam tradisi kejawen, bulan Suro memiliki sejumlah larangan dan pantangan yang diyakini dapat membawa kesialan jika dilanggar.
Berbagai pantangan bulan Suro masih dipercaya hingga kini, terutama di daerah seperti Yogyakarta, Solo, dan sebagian Jawa Tengah dan Timur. Meskipun sebagian masyarakat modern menganggapnya sebagai mitos, pantangan tersebut tetap dijalankan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Salah satu pantangan bulan Suro yang paling dikenal adalah larangan keluar rumah, terutama pada malam 1 Suro. Menurut kepercayaan, keluar rumah pada malam ini dianggap bisa membawa energi negatif atau gangguan gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.
Selain itu, masyarakat Jawa juga pantang menggelar pesta pernikahan atau hajatan selama bulan Suro. Acara seperti pernikahan, sunatan, atau syukuran dianggap tidak selaras dengan energi spiritual bulan ini yang bersifat sunyi dan penuh laku prihatin.
Ritual tapa bisu juga menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan pada malam 1 Suro. Dalam pantangan bulan Suro, berbicara atau membuat suara dianggap mengganggu suasana batin. Itulah sebabnya banyak masyarakat Yogyakarta yang menggelar tradisi mengelilingi benteng keraton dengan diam tanpa berkata-kata.
Tak hanya itu, berkata kasar atau melontarkan kata buruk juga dianggap sebagai larangan besar pada malam 1 Suro. Dalam kepercayaan lokal, ucapan buruk di malam tersebut bisa mendatangkan kesialan atau bahkan menjadi kenyataan yang tidak diinginkan.
Masyarakat Jawa juga meyakini bahwa membangun atau pindah rumah di bulan Suro bisa membawa ketidakberkahan. Hal ini berkaitan dengan keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu yang sebaiknya digunakan untuk merenung, bukan untuk memulai sesuatu yang besar atau bersifat duniawi.
Meski begitu, penting untuk dipahami bahwa sebagian besar pantangan bulan Suro berasal dari warisan budaya dan tidak memiliki landasan dalam ajaran Islam. Dalam Islam, bulan Muharram justru termasuk bulan mulia dan tidak ada larangan untuk menikah, berpindah rumah, atau mengadakan acara.
Ulama dan tokoh agama pun menegaskan bahwa kegiatan apapun sah dilakukan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Namun, tetap menghargai kearifan lokal dan adat istiadat setempat menjadi bagian dari toleransi dan kerukunan sosial yang penting dijaga.
Beberapa masyarakat kini mulai memaknai pantangan bulan Suro bukan sebagai larangan mutlak, melainkan sebagai ajakan untuk lebih introspektif. Bulan ini sering dijadikan momen untuk memperbanyak doa, tirakat, dan muhasabah diri.
Keseimbangan antara tradisi dan agama menjadi hal penting dalam menyikapi berbagai pantangan bulan Suro. Generasi muda perlu memahami konteks budaya di balik larangan tersebut agar tidak terjebak pada fanatisme atau justru mengabaikan nilai-nilai spiritual yang terkandung.
Pada akhirnya, menjalani bulan Suro dengan hati yang tenang, niat yang bersih, dan tindakan yang baik akan membawa kebaikan tersendiri. Baik dalam bentuk budaya maupun ibadah, bulan ini tetap menjadi momen yang layak dihormati dan diisi dengan hal-hal positif.
Pantangan bulan Suro seperti tidak keluar malam, tidak menikah, atau tidak pindah rumah adalah bagian dari kepercayaan budaya Jawa yang telah mengakar. Meski tidak bersumber dari ajaran Islam, menghargai tradisi tetap menjadi bentuk toleransi dalam masyarakat majemuk.
Sikap bijak dan pemahaman yang seimbang akan membantu menjaga harmoni antara keyakinan pribadi, budaya, dan agama. ***
