![]() |
| 25 Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN di Era Prabowo, Ini Daftarnya |
ZONAMERDEKA.COM – Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sejumlah Wakil Menteri (Wamen) diketahui merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai perusahaan BUMN.
Fenomena ini memicu sorotan publik, terutama terkait potensi konflik kepentingan dan efektivitas kinerja pejabat negara.
Meski sempat menuai kontroversi, pihak Istana menyebut bahwa rangkap jabatan Wamen sebagai komisaris BUMN dibolehkan secara aturan, berbeda dengan larangan yang berlaku bagi Menteri atau pejabat utama kabinet.
Berikut ini adalah daftar 25 Wakil Menteri yang saat ini merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN maupun anak usahanya:
Daftar Lengkap Wakil Menteri Rangkap Komisaris BUMN:
Istana Sebut Rangkap Jabatan Wamen Boleh Sesuai Aturan
Menanggapi isu rangkap jabatan ini, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyampaikan bahwa tidak ada aturan hukum yang melarang Wakil Menteri menjadi komisaris BUMN.
"Yang tidak boleh adalah anggota kabinet utama, seperti menteri atau pejabat kepala lembaga. Tetapi wakil menteri diperbolehkan secara hukum untuk menjabat komisaris," jelas Hasan saat konferensi pers, 3 Juni 2025.
Hasan juga menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 tidak menyebutkan larangan eksplisit terhadap rangkap jabatan Wamen di perusahaan negara.
"Di pertimbangan ada kalimat seperti itu, tapi dalam amar putusan tidak ada larangan. Maka dari itu secara hukum tidak dilanggar," katanya.
Sorotan Publik dan Aspek Etika
Meski secara regulasi diperbolehkan, rangkap jabatan Wakil Menteri dan Komisaris BUMN tetap menjadi sorotan dari sisi etika tata kelola pemerintahan.
Pengamat kebijakan publik menilai bahwa potensi konflik kepentingan dan beban kerja yang tumpang tindih harus menjadi pertimbangan serius, terutama jika mengganggu fokus dan pelayanan publik.
Rangkap jabatan Wamen sebagai komisaris BUMN kini menjadi fakta terbuka di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan 25 nama Wakil Menteri aktif yang menjabat posisi strategis di berbagai perusahaan pelat merah, wacana efisiensi, integritas, dan transparansi birokrasi kembali mencuat ke permukaan.
Meskipun diperbolehkan secara hukum, publik berhak mempertanyakan efektivitas dan kepatutan moral di balik praktik tersebut. Apakah ini strategi pengawasan atau justru beban yang memberatkan? Hanya waktu dan pengawasan publik yang bisa menjawabnya. ***
.png)




