Notification

×

Iklan

Iklan

Menentukan Awal Ramadhan 1445 Hijriah di tahun 2024, Ini Versi Pemerintah, NU dan Muhammadiyah

06 Maret 2024


 



Awal Ramadhan Versi Pemerintah

Pemerintah menetapkan awal Ramadhan pada tahun 2024 melalui sidang isbat yang dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag).  Laman resmi Kemenag mengumumkan bahwa awal Ramadhan, atau rukyatul hilal, akan dipantau pada 10 Maret 2024.

 

Sebuah penentuan hilal dilakukan pada tanggal 29 Syaban 1445 H di 134 lokasi di seluruh Indonesia. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan kapan puasa Ramadhan dimulai.  


Menurut Kalender Hijriah yang dikeluarkan Kemenag, 1 Ramadhan 1445 H akan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. 


Awal Ramadhan Perhitungan NU

Untuk menentukan awal bulan Hijriah, termasuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, Nahdlatul Ulama (NU) NU menggunakan metode rukyatul hilal.


Awal Ramadhan NU biasanya sama dengan tanggal pemerintah karena cara mereka memantau hilal sama. Menurut Kalender Hijriah Indonesia 2024 yang dibuat oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag), Ramadhan 2024 dimulai pada 12 Maret 2024 dan berakhir pada 9 April 2024.





Awal ramadhan Versi Muhammadiyah

Dalam menentukan tanggal awal puasa Ramadhan 2024, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki dari tahun 1445 H. Sebelumnya, Muhammadiyah telah menetapkan tanggal awal puasa Ramadhan 2024.

Menurut Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0/E/2024, awal Ramadhan 1445 H, atau awal puasa, akan jatuh pada Senin, 11 Maret 2024.

Muhammadiyah, di sisi lain, menetapkan Hari Raya Idul Fitri pada 10 April 2024, bertepatan dengan 1 Syawal 1445 Hijriah.

Menurut versi pemerintah, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, ini adalah tanggal puasa Ramadhan 2024/1445 H.

Meskipun ada beberapa perbedaan, yang paling penting adalah niat dan pelaksanaan puasa Ramadhan untuk Allah Swt semata-mata. 


Metode Penentuan 1 Syawal  


Dua metode yang umum digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal adalah hisab dan rukyatul hilal, juga dikenal sebagai rukyah.

Metode hisab menggunakan perhitungan matematis dan astronomis untuk menentukan kapan mulai berpuasa.

Namun, metode rukyah menggunakan pengamatan bulan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Dengan metode ini, hilal akan diamati saat matahari tenggelam dengan mata telanjang atau bantuan optik seperti teleskop.

Hisab: Menurut buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, istilah "hisab" berasal dari kata Arab "al hisab", yang berarti "perhitungan atau pemeriksaan". Dalam bidang fikih, istilah "hisab" mengacu pada penentuan waktu ibadah.

Hisab digunakan untuk menghitung waktu dan arah tempat untuk beribadah. Ini termasuk menentukan waktu salat, puasa, idul fitri, haji, dan waktu gerhana untuk melakukan salat gerhana.

Surat Ar Rahman ayat 5 menjelaskan bagaimana hisab digunakan untuk menandai awal bulan Hijriah.

"Matahari dan bulan (beredar) menurut kalkulasi."

Ayat lima dari Surat Yunus

Dia-lah yang membuat matahari dan bulan bersinar, dan Dia menetapkan manzilah-manzilah (tempat-temat) untuk perjalanan bulan, supaya kamu mengetahui bilangan tahun perhitungan (waktu).

Hadis dari Sahih Bukhari dan Muslim:

"Apabila kamu melihat hilal, berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya, ber-idul fitrilah. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah."

"Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, kadang-kadang tiga puluh hari."

Muhammadiyah menggunakan metode hisab ini untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah. Hisab yang digunakan adalah hisab hakiki wujudul hilal, yang memenuhi tiga persyaratan:

1. Telah terpenuhinya ijtimak (konjungsi), 2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan 3. Bulan berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam.

Hari tersebut dianggap sah masuk dalam awal bulan Hijriyah jika memenuhi tiga persyaratan.

Rukyatul Hilal: Penggunaan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah di Indonesia sudah diyakini sejak awal kedatangan Islam.

Rukyatul hilal pada saat itu hanya dilakukan dengan mata telanjang tanpa alat bantu.

Dengan perkembangan kebudayaan manusia, pelaksanaan rukyatul hilal pun secara bertahap menggunakan sarana dan prasarana yang mendukung sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rukyatul hilal berarti melihat atau melihat hilal, menurut nu.or.id.

Lengkungan bulan sabit paling tipis, hilal, terletak pada ketinggian rendah di atas ufuk barat pasca matahari terbenam.

Metode pengamatannya terbagi menjadi tiga: pertama mengandalkan mata telanjang; kedua, alat optik, biasanya teleskop, membantu mata; dan terakhir, alat optik, biasanya teleskop, terhubung ke sensor atau kamera.

Keterlihatan hilal dibagi menjadi tiga jenis: kasatmata telanjang (bil fi'li), kasatmata teleskop, dan kasat-citra.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah lembaga keagamaan yang menerapkan metode ini. Tidak serta merta NU meninggalkan hisab atau ilmu falak meskipun menggunakan rukyatul hilal.

Rukyatul hilal tidak dapat dilakukan tanpa hisab yang baik, jadi NU memosisikan metode hisab sebagai alat bantu dalam pelaksanaannya.

Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki sistem hisab jama'i yang memasukkan setiap metode hisab yang telah dikembangkan dalam organisasi tersebut. 


Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. 


Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.” 



Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


 صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).



Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210). 



Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:



    هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ 

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



 إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ 

“Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”  



Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab).



Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241). Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi.  



Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadhan, di antaranya: Pertama, imkanur rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas. 



Kedua, wujudul hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah. 



Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi. 



Keempat, rukyat global. Yaitu Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa. Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain. 



Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadhan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama.  



Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung.  Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:



 حُكْمُ الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ 

“Keputusan Hakim (Pemerintah) dapat menghilangkan perselisihan.” 



Namun, toleransi harus dipertahankan jika perselisihan mengenai awal Ramadhan terus terjadi. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat adalah tugas Allah yang harus dipenuhi. (Berbagai Sumber)

(*) 





ikuti zonamerdeka.com di Google News

klik disini


close